Sering kali sebutan yang dikenakan terhadap Yesus sebagai “Anak Allah” dan terhadap umat Tuhan pengikut Yesus sebagai “anak-anak Tuhan” disalahmegerti oleh beberapa kalangan/kelompok/golongan tertentu. Dan bahkan tidak sedikit orang yang menggunkannya sebagai alat untuk menyerang kepercayaan kristen dengan menyebut Allah orang kristen itu beranak dan memperanakkan. Hal itu sering dilakukan dengan tujuan tertentu dan perbuatan ini amat disayangkan. Pemahaman yang salah seperti di atas terjadi karena telaah yang mereka pergunakan sangat sempit dan tidak berdasar. Mereka hanya menterjemahkan atau menafsirkan secara kasar/serampangan (harafiah) tanpa berpijak pada dasar kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Cara ini sangat berbahaya namun itulah yang dilakukan oleh kebanyakan orang non-kristen untuk mencoba menggoyahkan iman mereka. Tindakan ini sama dengan menghakimi kebenaran (menebar fitnah). Tetapi bagi saya wajar kalau mereka melakukan itu sebab dari awal tujuan utamanya memang bukan untuk mencari kebenaran melainkan hanya mencari-cari kesalahan (ajaran kepercayaan kristen) yang kalau mau diselidiki dengan jujur tidak akan pernah mereka temukan dan hanya kesia-siaan.
Kata anak dalam frase “Anak Allah” dan “anak-anak Tuhan” mengandung arti tersirat yang sangat dalam yang harus ditilik dan dianalisa dari kacamata teologis (iman rohani) kristen yang benar. Sebagai analoginya kalau disebutkan anak tangga, apakah tangga itu memiliki ayah atau tangga beranak? Kata anak tangga itu berarti anak tangga bagian dari tangga dan merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Begitu juga dengan kata anak dalam frase anak Jakarta, Anak Medan, anak Surabaya, apakah bisa dengan serampangan kita menyebutkan bahwa kota-kota tersebut beranak. Akan lebih bijaksana bila frase-frase itu dipahami untuk menunjuk kepada seseorang yang berasal (asli atau lahir) dari daerah tersebut. Kemudian jika dibuat dalam sebuah kalimat “aku anak bangsa Indonesia”), bukankah si-aku hendak menunjukkan bahwa dirinya orang (warga) berkebangsaan Indonesia. Contoh lain lagi dalam frase anak perkapalan, anak perhotelan, anak pertanian, anak hukum, anak ekonomi, dll. Tentu maksud dari frase-frase ini adalah orang-orang yang bergelut (atau bisa juga bekarir/bekerja/menuntut ilmu) di bidang-bidang yang bersangkutan.
Analogi ini secara sederhana dapat membantu kita melihat/memahami makna atau maksud sebutan “Anak Allah” dan “anak-anak Tuhan”. Namun lebih amannya, kita harus menggunakan terang firman Tuhan yang terdapat dalam alkitab karena itulah tolak ukur yang benar dan yang murni/asli (original) sehingga kita dapat memahami makna kedua sebutan tersebut dengan benar.
Pertama, frase “Anak Allah”.
Dahulu kala seluruh bangsa Israel digelar “Anak Allah” (TB Keluaran 4:22, TB Hosea 11:1), begitu juga raja Israel keturunan Daud (TB 2 Samuel 7:14; Mazmur 2:7), karena ia memerintah sebagai wakil Allah. Tetapi kemudian gelar ini diberikan terutama (khusus) kepada Raja yang dijanjikan oleh Allah; Dialah raja yang diharapkan datang pada akhir zaman. Dalam kitab Roma (TB Roma 1:3-4) yang dimaksud dengan “Anak Allah” itu ialah Yesus Kristus yang menyatakan bahwa Ia berasal dari Allah dan melakukan kehendak Bapa-Nya. Dalam kitab Markus (TB Markus 1:9-11), pada waktu Yesus dibaptis, Ia diakui sebagai “Anak Allah”, ketika suara (Allah) dari surga mengatakan kepada-Nya, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan”. Kata-kata itu sesuai dengan kata-kata dalam kitab Mazmur (TB Mazmur 2:7), kitab Matius (Matius 1:18) dan kitab Lukas (TB Lukas 1:35) yang menyatakan bahwa Yesus berada dalam kandungan Maria, seorang perawan karena kuasa Roh Allah. Setelah Yesus menyelesaikan segala misi (tugas pelayananNya untuk menyelamatkan manusia), Ia bangkit (hidup) dari kematian dan sejak Paskah, Yesus kembali ke sorga tempat asalNya untuk memerintah bersama-sama dengan Allah.
Kedua, frase “anak-anak Tuhan” atau dalam alkitab disebut “anak-anak Allah”.
Kata “anak-anak Allah” dalam alkitab sering dipakai untuk menunjuk orang-orang yang percaya kepada Allah (TB Kejadian 6:4, TB Ayub 1:6) dan orang-orang keturunan Abraham, Isak dan Yakub. Seperti yang dipaparkan di atas, mulanya (masa Perjanjian Lama) seluruh bangsa Israel digelar atau disebut “anak Allah” (TB Keluaran 4:22, Hosea 11:1), begitu juga raja Israel keturunan Daud (TB 2 Samuel 7:14; Mazmur 2:7). Dan di Perjanjian Baru, orang-orang yang percaya dan menjadi pengikut Yesus (kristen, yang mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan dan yang melakukan kehendakNya) disebut “anak-anak Tuhan”. Dalam hal ini percaya kepada Yesus juga berarti percaya kepada Allah karena Yesus itu adalah Allah sendiri (Allah yang menjadi manusia—tritunggal) supaya tidak menimbulkan dualisme paham anak Perjanjian Lama dan anak Perjanjian Baru, sebab acuannya sama yaitu “anak-anak Allah”.
Dari paparan di atas (menurut ajaran firman Tuhan) maka jelaslah bagi kita bahwa kata “Anak Allah” dan “anak-anak Tuhan” yang terdapat dalam alkitab tidak bisa serta-merta disimpulkan bahwa Allah beranak atau Allah memperanakkan sebab kata “Anak Allah” yang dikenakan kepada diri Yesus itu mengacu terhadap hakekat Yesus dalam ketaatanNya melakukan semua tugas pelayaanan (misi) yang diperintahkan Bapa di sorga selama Ia di dunia, sedangkan “anak-anak Tuhan” mengacu terhadap predikat atau gelar orang-orang yang percaya dan pengikut Yesus atau sebagai umat kepunyaan Tuhan pewaris Kerajaan Sorga. Jadi, kalau masih ada orang yang menganggap bahwa Allah beranak dan Allah memperanakkan (bertalian dengan kata “Anak Allah” dan “anak-anak Tuhan”), kita bisa tegaskan anggapan itu salah kaprah (konyol) dan terkesan mengada-ada bahkan cenderung dipaksakan.
Jesus bless...
Catatan: TB = alkitab terjemahan baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar