31 Mei 2009

Kenapa manusia masih meragukan eksistensi Tuhan pada saat ini?

--- Oleh Immanuel Sibarani. ---

Kalau ditanya manusia jaman sekarang (post modern) apakah Tuhan itu ada, sebagian mereka akan menjawab ada, sebagian juga akan menjawab ragu-ragu (bahasa halus mengatakan tidak ada) dan sebagian yang lain akan menjawab tidak tahu. Tiga jawaban itu tentu didasari dan didorong oleh berbagai alasan, paham, pandangan, pengalaman, doktrin, ajaran atau dogma agama, pengetahuan serta latar belakang si penjawab yang berbeda-beda. Tapi jika kita mau jujur dan melihat bumi di sekeliling kita (kehidupan), akan kesulitan untuk menyangkal Tuhan tidak ada. Coba kita lihat sistem kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan yang begitu kompleks dan rumit yang terangkai indah. Begitu juga dengan sistem antariksa (benda-benda atau planet-planet di langit yang matahari sebagai pusatnya) yang tertata dengan amat sempurna. Siapa yang menjadikan mereka dan siapa yang mengkontrol keberadaan mereka? Pasti ada (terlepas dari siapa “dia”). Tidak cukupkah itu sebagai tanda atau alasan bagi manusia yang terbatas ini untuk menerima tanpa syarat bahwa semua itu ada berkat hasil maha karya “seseorang” yang maha agung. Manusia dengan segala keterbatasannya seharusnya akan dengan mudah percaya dan meyakini bahwa di luar dirinya pasti ada pribadi yang lebih besar.


Dulu sebelum abad revolusi muncul dan sebelum paham humanisme bergulir ditambah lagi ilmu pengetahuan yang masih minim dan dangkal, manusia dengan mudah menerima pengajaran bahwa Tuhan itu ada (teologi) dan ia dapat dengan lebih cepat percaya terhadap kuasa yang lebih besar di luar dirinya (keberadaan Tuhan atau dewa dan kekuatan gaib/mistis lainnya). Saat awal mula kemajuan ilmu pengetahuan pun, ditandai dengan munculnya beberapa filsuf dan ilmuan terkenal dan tersohor dari abad ke abad sebelum abad millennium (Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Isaac Newton, dll), kalau kita perhatikan tidak ada satupun dari antara mereka (yang notabene manusia super jenius yang kita akui sampai sekarang) yang berani menyangkal eksistensi atau keberadaan sesuatu yang maha kuasa. Hal ini bisa dilihat dengan mencermati hasil pemikiran para filsuf yang menyatakan bahwa semua bersumber dari sesuatu yang menjadikan yang tidak ada menjadi ada. Keberadaan tersebut akan berbeda jauh dan bisa dibilang paradoks atau berbanding terbalik dengan manusia jaman sekarang.

Di jaman yang serba instan ini, manusia lebih mengedepankan pola pikir ilmiah yang mana hampir segala sesuatu harus didasarkan pada pemikiran yang logis. Dengan kata lain, sesuatu dapat diterima jika sesuatu itu dapat dibuktikan secara ilmiah atau tidak bertentangan dan tidak melanggar kaidah berpikir ilmiah. Sehingga tidak heran manusia akan semakin sulit percaya terhadap suatu hal sebelum teruji dan dapat diterima oleh logika pikiran manusia itu sendiri. Dalam hal ini, pikiran atau rasiolah yang menjadi ukuran atau tolak ukur dan standar yang dijadikan untuk dapat menerima sesuatu di luar dirinya. Istilah lain, otak (pikiran) manusia yang menjadi fokus kehidupannya.

Manusia semakin kritis seiring perkembangan paradigma dan pola berpikirnya yang semakin maju mengikuti aliran waktu. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan hasil “ciptaan” atau “kreasi” manusia dijadikan pijakan bahwa manusia bisa berdiri sendiri tanpa campur tangan “seseorang” di luar dirinya. Keberadaan ini tidak jarang membuat manusia yang merasa hebat secara rasio (termasuk para ilmuan) menyangkal keberadaan Tuhan baik secara diam-diam dalam dirinya maupun terang-terangan di depan umum (atheis). Keadaan manusia ini juga akan berimbas terhadap sesamanya di mana manusia semakin bersifat egosentris, rasisme dan individualistis (berpusat pada diri sendiri dan tidak perduli terhadap sesuatu di luar dirinya). Di masa depan akan semakin sulit dijumpai orang-orang yang peduli dan mau menolong sesamanya karena solidaritas atau kasihnya semakin terkikis dimakan waktu. Sikap apatis dan skeptis akan semakin menonjol (wajar jika bermunculan jargon-jargon anak muda yang merasuki baik kaula muda maupun kaula tua: egp alias emang gue pikirin, siapa loe siapa gue, cuek aja lagi, capek deh!). Sehingga tidak heran manusia akan semakin jahat. Akhir-akhir ini makin nampak kejahatan merajalela di mana-mana dan manusia semakin rakus (serakah). Ia tidak segan-segan menghabisi nyawa sesamanya dan selalu berusaha mengambil yang bukan miliknya. Dengan menghalalkan segala cara, apapun dilakukan untuk dirinya sendiri (yang penting gue happy dan untung besar). Sungguh ironis memang kenyataan ini. Tapi itu akan terjadi dan sedang terjadi dan akan semakin nyata sampai detak waktu berhenti.

Penebangan liar kayu-kayu di hutan (illegal logging), penangkapan liar di sungai dan di laut yang merusak ekosistem dan biodiversity (keanekaragaman hayati); penambang liar (termasuk penambang resmi yang tidak mementingkan keselamatan lingkungan dari pembuangan limbahnya) yang dapat merusak lingkungan; emisi gas buang mesin-mesin industri/pabrik dan kendaraan yang memakai minyak fosil mengakibatkan polusi udara; makanan yang mengandung melamin, pewarna pakaian, pengawet berbahaya (boraks, formalin), rokok, minuman keras, narkoba yang dapat menghilangkan nyawa manusia; trafiking (penjualan bayi dan eksploitasi perempuan untuk dijadikan budak dan PSK) yang merendahkan nilai dan martabat manusia; KKN alias korupsi kolusi nepotisme, pembajakan alias pelanggaran hak cipta yang menggerogoti moral, mental dan etika manusia adalah contoh-contoh dan fakta-fakta fenomental keegoisan serta kerakusan manusia jaman edan ini.

Sifat manusia yang selalu berpusat pada dirinya sendiri kenyataannya merusak tatanan kehidupan dan kelangsungan hidupnya di bumi. Tapi itu tidak bisa dihentikan karena naluri manusia yang egosentris dan serakah (ambisius, haus materi) membawanya tanpa sadar. Tidak ada satu dari manusia yang bisa mengendalikan dan menghentikannya kecuali si pencipta pribadi manusia itu sendiri. Ciptaan tidak akan pernah melebihi penciptaannya. Seperti halnya alat elektronik yang jika rusak, ia tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri tanpa sentuhan penciptanya supaya kembali baik. Begitu juga manusia yang jika rusak hanya bisa dipulihkan oleh Sang Kreator.

Refleksi:
Tidak salah kalau manusia mencapai ilmu setinggi lagit sekali pun. Tidak salah juga manusia memiliki materi yang berlimpah di dunia ini. Tapi yang menjadi pertanyaan dan sekaligus renungan bagi kita, apakah semua itu baik yang sekaligus membuat kita makin dekat dan mengenal Sang Pencipta atau malah sebaliknya kita menjadi (sadar atau tidak sadar) penyangkal eksistensi Tuhan? Di tangan Andalah keputusannya, menjadi penyangkal atau tunduk tanpa syarat mengakui bahwa Tuhan ada. Jangan sombong. Bukankah segala sesuatu adalah milik Tuhan, dengan apakah kita dapat bermegah diri.
Shalom, Tuhan memberkati.
Nantikan artikel berikutnya:
Apakah Tuhan membutuhkan kita (manusia)?

Tidak ada komentar: